Pagi yang indah, ayah duduk di serambi masjid usai shalat subuh berjamaah. Sambil menikmati udara pagi yang belum tercampur kotornya asap kendaraan bermotor.
Tiba-tiba seorang lelaki paruh baya datang menghampiri ayah. Namanya pak Suraji biasa dipanggil Pak Aji. Pak Aji orangnya supel dan enak diajak bicara. Biasanya kalau ayah lagi punya masalah, seringnya curhat sama Pak Aji, dan beliau sering memberikan solusi dan petuah-petuah berdasarkan pengalaman-pengalamannya.
Tapi kali ini, Pak Aju yang lagi punya masalah. Beliau mengeluhkan kalau anak ketiganya yang baru kelas 1 SD sudah mengenal "cinta-cintaan".
"Mas, saya jadi khawatir dengan tingkah Si Kiki akhir-akhir ini" kata beliau mengawali pembicaraan.
"Loh memangnya kenapa Pak Aji?" tanya ayah penasaran.
"Si Kiki itu loh Mas, baru kelas 1 SD tapi udah kenal sama yang namanya 'pacaran', kalau baru kelas satu SD saja sudah begitu, gimana kalau sudah besar ya Mas, terus terang saya khawatir dengan perkembangannya.
Mungkin dari sekian banyak orang tua, tidak hanya Pak Aji saja yang mengalami kasus serupa. Tidak bisa dipungkiri kalau pengaruh lingkungan dan media saat ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan mental anak. Tayangan televisi yang harusnya bukan untuk konsumsi anak, saat ini dapat dengan mudah diakses oleh anak-anak. Lingkungan di sekitar kitapun juga ikut serta memberikan stimulus kepada anak-anak untuk "matang sebelu waktunya". Hal yang dahulu dianggap tabu dan dianggap "saru" untuk dilakukan didepan umum sekarang tidak berlaku lagi bagi kalangan muda-mudi, semisal pegangan tangan, berpelukan, dsb. Memang itulah tantangan kita mendidik anak di zaman global.
Seingat ayah, dulu waktu SD ayah juga pernah mengalami yang namanya suka kepada lawan jenis. Sehingga ayah menganggap wajar jika si Kiki juga mengalami hal yang sama. Namun, bedanya saat itu ayah tidak terlalu ekspresif sepreti sekarang. Paling yang ayah alami cuma sebatas suka, dan malu kalau seandainya ada anak lain yang tahu, dan akan tambah malu lagi kalau diketahui oleh ibu guru.
Tapi yang dialami Kiki beda, dan inilah yang dikhawatirkan oleh Pak Aji. Si Kiki tidak mau kalau di sekolah tidak duduk satu bangku dengan Bima. Katanya Bima adalah cintanya Kiki, Bima adalah pacar Kiki, jadi harus selalu selalu ada di samping Kiki. Waduh Si Kiki, dari mana ya dia, bisa sampai ngomong seperti itu.
Karena ayah tidak punya pengalaman tentang hal ini, ayah cuma bisa ngasih saran ke Pak Aji untuk melakukan pendekatan kepda Kiki, coba kasih pengertian ke Kiki kalau tugasnya adalah belajar. belum waktunya suka-sukaan. Tapi saran ayah ke Pak Aji masih terlalu Abstrak, dan Pak Aji juga bingung menerapkannya bagaimana. Mungkin dari Anda yang mampir ke rumah ayahbundafata bisa kasih saran dan solusi yang lebih pas. Silakan!!! Saran Anda akan sangat membantu Pak Aji.
Tiba-tiba seorang lelaki paruh baya datang menghampiri ayah. Namanya pak Suraji biasa dipanggil Pak Aji. Pak Aji orangnya supel dan enak diajak bicara. Biasanya kalau ayah lagi punya masalah, seringnya curhat sama Pak Aji, dan beliau sering memberikan solusi dan petuah-petuah berdasarkan pengalaman-pengalamannya.
Tapi kali ini, Pak Aju yang lagi punya masalah. Beliau mengeluhkan kalau anak ketiganya yang baru kelas 1 SD sudah mengenal "cinta-cintaan".
"Mas, saya jadi khawatir dengan tingkah Si Kiki akhir-akhir ini" kata beliau mengawali pembicaraan.
"Loh memangnya kenapa Pak Aji?" tanya ayah penasaran.
"Si Kiki itu loh Mas, baru kelas 1 SD tapi udah kenal sama yang namanya 'pacaran', kalau baru kelas satu SD saja sudah begitu, gimana kalau sudah besar ya Mas, terus terang saya khawatir dengan perkembangannya.
Mungkin dari sekian banyak orang tua, tidak hanya Pak Aji saja yang mengalami kasus serupa. Tidak bisa dipungkiri kalau pengaruh lingkungan dan media saat ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan mental anak. Tayangan televisi yang harusnya bukan untuk konsumsi anak, saat ini dapat dengan mudah diakses oleh anak-anak. Lingkungan di sekitar kitapun juga ikut serta memberikan stimulus kepada anak-anak untuk "matang sebelu waktunya". Hal yang dahulu dianggap tabu dan dianggap "saru" untuk dilakukan didepan umum sekarang tidak berlaku lagi bagi kalangan muda-mudi, semisal pegangan tangan, berpelukan, dsb. Memang itulah tantangan kita mendidik anak di zaman global.
Seingat ayah, dulu waktu SD ayah juga pernah mengalami yang namanya suka kepada lawan jenis. Sehingga ayah menganggap wajar jika si Kiki juga mengalami hal yang sama. Namun, bedanya saat itu ayah tidak terlalu ekspresif sepreti sekarang. Paling yang ayah alami cuma sebatas suka, dan malu kalau seandainya ada anak lain yang tahu, dan akan tambah malu lagi kalau diketahui oleh ibu guru.
Tapi yang dialami Kiki beda, dan inilah yang dikhawatirkan oleh Pak Aji. Si Kiki tidak mau kalau di sekolah tidak duduk satu bangku dengan Bima. Katanya Bima adalah cintanya Kiki, Bima adalah pacar Kiki, jadi harus selalu selalu ada di samping Kiki. Waduh Si Kiki, dari mana ya dia, bisa sampai ngomong seperti itu.
Karena ayah tidak punya pengalaman tentang hal ini, ayah cuma bisa ngasih saran ke Pak Aji untuk melakukan pendekatan kepda Kiki, coba kasih pengertian ke Kiki kalau tugasnya adalah belajar. belum waktunya suka-sukaan. Tapi saran ayah ke Pak Aji masih terlalu Abstrak, dan Pak Aji juga bingung menerapkannya bagaimana. Mungkin dari Anda yang mampir ke rumah ayahbundafata bisa kasih saran dan solusi yang lebih pas. Silakan!!! Saran Anda akan sangat membantu Pak Aji.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar