Banyak orangtua yang merasa puas dan merasa berhasil mendisiplinkan anaknya jika anaknya sudah ‘KETAKUTAN’, ‘menurut’ dan melaksanakan semua peraturan yang sudah diberlakukan oleh orangtua. Anak yang ketakutan dan menjadi penurut apa yang diperintahkan oleh orangtua memang masih menjadi indikator keberhasilan disiplin.
Namun apa benar demikian?
Coba bandingkan dua kondisi di bawah ini.
Kondisi pertama, sebut saja si Iza, seorang putri cantik sekolah di TK yang centil, Iza diperingati oleh mamanya dengan cara yang keras, penuh tekanan dan ancaman untuk tidak membeli makanan (jajan) di sekolah sebab tidak sehat. Dengan penuh ketakutan Iza mengangguk-angguk tanda setuju terhadap peraturan tersebut. Sampai detik terakhir berpisah, sang mama tersebut sempat memberi peringatan disiplin kepada anaknya. “Inget lho pesen mama ya…jangan jajan, awas kalo ketahuan, mama hukum nanti.” Apa yang terjadi ketika Iza sudah di sekolah dan melihat teman-temannya ramai-ramai membeli jajan. Iza ragu-ragu untuk mendekat. Takut ancaman dari mamanya. Tiba-tiba seorang temannya mengajak Iza untuk ikut membeli jajan. Spontan Iza menolak. “Gak boleh ama mama.” Si teman tidak mau kalah. “Mamamu kan gak ada sekarang, jadi gak mungkin tahu, ayo … enak lho jajannya!” Iza langsung menoleh ke kanan ke kiri, begitu dia yakin mamanya tidak ada di sekitarnya, maka dengan senyum bahagia Iza menuruti temannya untuk membeli jajan yang telah dilarang oleh mamanya. Dalam kondisi seperti Iza rapuh dalam kedisiplinannya. Iza masih DAPAT DIPENGARUHI OLEH LINGKUNGANNYA. Disiplin seperti ini adalah disiplin yang tidak berhasil.
Kondisi kedua, Ela didudukkan dengan manis oleh mamanya, dan diberitahu kalau jajan di luar itu tidak sehat. Jenis-jenis jajanan yang tidak sehat juga diberitahukan oleh sang mama, bahkan ditulis atau ditunjukkan bungkus makanannya. Lalu Ela mendapat informasi juga dari mamanya kenapa makanan/jajan ini tidak sehat. Sang mama memberitahu juga akibat ekstrem apabila anak-anak sering makan jajanan tersebut. Penyakit yang mungkin timbul, penderitaan anak pada saat sakit, kesulitan orangtua pada saat anaknya sakit, dan lain-lain. Bahasa yang disampaikan kepada anak juga lembut, santun dan sangat informatif. Tidak ada paksaan dan dilakukan dalam kondisi si anak santai atau dalam kondisi ‘alfa’. Apa yang terjadi pada saat Ela berada di sekolahnya dan teman-temannya merayu Ela untuk jajan yang sudah di larang oleh mamanya. Ela dengan santainya menjawab, “Aku gak boleh jajan itu ama mamaku, sebab kata mamaku jajanan itu gak sehat, bisa sakit, aku sudah diceritain susahnya kalo sakit, ihhh sedih gitu. Kamu juga kalo bisa gak usah beli jajanan itu. Kalo jajanan yang ada di kantin sekolah itu baru sehat. Kalo di luar ini tidak sehat.” Lalu beberapa teman Ela melongo, mengangguk-angguk dan mengikuti nasihat Ela. Dalam kondisi seperti ini Ela MAMPU MEWARNAI LINGKUNGANNYA dengan kedisiplinannya. Dan disiplin inilah yang berhasil.
Dua macam keberhasilan disiplin
Ada dua macam keberhasilan disiplin, yaitu:
1. Disiplin SEMENTARA
Yaitu upaya disiplin yang mempunyai rentan waktu sementara, setelah itu disiplin akan hilang. Kasus Iza adalah termasuk disiplin sementara. Iza berjanji akan menuruti perintah orangtuanya pada saat keberadaan orangtuanya ada di sekitarnya. Begitu di luar itu, disiplin akan hilang. Penyebab disiplin sementara ini antara lain:
a. Model pemberian peraturan kepada anak yang salah.
- Anak usia golden age (0 sampai 7 tahun) model pemberian aturannya dengan learning by doing dan learning by example. Artinya anak belajar disiplin dengan cara melihat perilaku orangtuanya dan mengambil contoh atau teladan dari orangtuanya. Apabila dua hal penting ini tidak sesuai dengan apa yang sudah menjadi peraturan anak, maka secara otomatis anak akan menghindari kedisiplinan.
- Anak usia 8 tahun ke atas, peraturan dibuat dalam model-model peraturan tertulis, lisan dengan berbagai macam format yang sangat luwes.
b. Cara pemberlakukan peraturan kepada anak yang salah.
- Cara pemberlakuan disiplin yang terlalu bebas, akan mengakibatkan kekuatan peraturan untuk ditaati menjadi lemah. Peraturan yang sudah dibuat sama sekali tidak efektif. Anak tidak akan menghargai peraturan apapun yang berasal dariu orangtuanya dan orang lain.
- Cara pemberlakuan disiplin yang terlalu keras dan kaku, juga akan berdampak negatif pada anak. Perasaan tertekan, takut, anak mudah kehilangan kepercayaan diri, tidak punya peluang untuk tumbuh dan berkembang, kepribadian, emosi, akhlak dan rasa kemanusiaannya niscaya tidak akan terbentuk. Selain itu potensi dan bakatnya tidak akan muncul.
- Cara pemberlakukan disiplin yang seimbang. Anak diberi pendahuluan pengetahuan kenapa harus ada peraturan yang dimaksud. Peraturan hanya membatasi dan mengatur kebebasan anak. Anak diberi kesempatan untuk menentukan pilihan-pilihan. Dengan disiplin yang seimbang ini, maka anak akan tumbuh menajdi pribadi yang berkembang, bertanggung jawab, menghargai orang lain dan mempunyai kepercayaan diri yang tinggi.
c. Tidak adanya apresiasi ketika disiplin tersebut telah dijalankan oleh anak.
- Setiap anak yang melakukan upaya disiplin seyogyanya orangtuanya memperhatikan hal itu dan memberikan respon berupa apresiasi.
- Apresiasi dapat berupa pujian terhadap perbuatan disiplinnya, sentuhan emosi positif, seperti memeluk, mencium, mengusap rambut dan lain-lain.
2. Disiplin PERMANEN
Yaitu upaya disiplin yang mempunyai rentan waktu relatif panjang. Kasus Ela adalah disiplin yang permanen. Disiplin inilah yang berhasil. Anak mempunyai kedisiplinan internal dalam dirinya. Bahkan mampu menjelaskan kenapa harus disiplin dan mampu menarik orang lain untuk juga melakukan upaya disiplin
Nah … para orangtua, seyogyanya kita semua dapat melihat atau melakukan cek, apakah disiplin yang kita terapkan kepada anak kita termasuk yang SEMENTARA atau TETAP. Perilaku kita sebagai orangtua dalam menerapkan disiplin kepada anak ternyata menjadi kunci utamanya. Semoga menajdi pengetahuan yang berguna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar